Peraturan Pemerintah Nomor : 44 TAHUN 2022

2 Desember 2022

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2022

TENTANG

PENERAPAN TERHADAP PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang :
 
  1. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian pengaturan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap pengaturan lebih lanjut mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak;
  2. bahwa pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu dilakukan penyempurnaan untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat :
 
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERAPAN TERHADAP PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  3. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  5. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  6. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
  7. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
  8. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  9. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  10. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  11. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  12. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  13. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  14. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
  15. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian Jasa Kena Pajak tersebut.
  16. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
  17. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
  18. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud karena Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean.
  19. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  20. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
  21. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
  22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
 

BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK DAN PENUNJUKAN PIHAK LAIN

UNTUK MELAKUKAN PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN/ATAU PELAPORAN

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Pasal 2
 

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(3) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

 

 

Pasal 3

 
(1) Bentuk pengaturan bersama berupa kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana diatur dalam pengertian badan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Bentuk pengaturan bersama berupa kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

     

Pasal 4

 
(1) Pembeli atau Penerima Jasa bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan dalam hal:
  1. pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak; dan
  2. Pembeli atau Penerima Jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak.
(3) Tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pembeli atau Penerima Jasa dengan melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang menggunakan surat setoran pajak.
(4) Tanggung jawab secara renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditagih melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal Pembeli atau Penerima Jasa tidak atau kurang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri.
 

Pasal 5

 
(1) Menteri menunjuk pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik.
(3) Pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berupa pedagang, penyedia jasa, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(4) Dalam hal pihak lain yang telah ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah:
a. melakukan transaksi; atau
b. memfasilitasi transaksi,
dengan pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 16A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dilakukan oleh pihak lain yang telah ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Pedagang atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan Pembeli atau Penerima Jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik milik sendiri.
(6) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean atau di luar Daerah Pabean.
(7) Penunjukan pihak lain, tata cara pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

BAB III
BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK

Pasal 6

 

(1) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pemakaian atau pemanfaatan untuk kepentingan Pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
(4) Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pemberian yang diberikan tanpa pembayaran atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan dan tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas:
a. pemakaian sendiri; atau
b. pemberian cuma-cuma,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

 

Pasal 7
 

Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

 

Pasal 8

 
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha; dan
  2. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan baik dalam aktivitas operasional maupun aktivitas nonoperasional.
 

Pasal 9

 
(1) Penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak diketahui dengan pasti pemiliknya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
 

Pasal 10

 
(1) Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
(2) Termasuk dalam pengertian penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyerahan agunan oleh kreditur kepada Pembeli.
(3) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Barang Kena Pajak yang diambil alih oleh kreditur berdasarkan:
  1. hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
  2. jaminan fidusia;
  3. hipotek;
  4. gadai; atau
  5. pembebanan sejenis lainnya.
(4) Ketentuan mengenai batasan penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur, saat terutang, tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur diatur dengan Peraturan Menteri.
 

Pasal 11


Pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai meliputi pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal kepada badan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Pasal 12

 
(1) Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, sepanjang Barang Kena Pajak tersebut pada akhirnya diserahkan kembali kepada pihak yang semula menyerahkannya.
 

Pasal 13

 
(1) Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis barang dan jenis jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
 

BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK

Pasal 14
 

(1) Dasar pengenaan pajak meliputi jumlah:
a. Harga Jual;
b. Penggantian;
c. nilai impor;
d. nilai ekspor; atau
e. nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri,
yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(2) Dalam hal:
a. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya; dan
b. atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
dasar pengenaan pajak berupa Harga Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut.
(3) Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut.
(4) Dasar pengenaan pajak untuk penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain:
a. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,
merupakan Harga Jual atau nilai lain termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut.

 

 

BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN

NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Pasal 15
 

(1) Pengusaha Kena Pajak yang:
a. mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
b. melakukan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
c. melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu,
dapat memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. 
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian formula tertentu dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa Harga Jual, Penggantian, atau nilai tertentu.
(3) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yang berhubungan dengan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan.
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan besaran tertentu dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut atau dibebaskan sebagaimana diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
b. Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dipungut atau dibebaskan; dan
c. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yang berhubungan dengan penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut atau dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, tidak dapat dikreditkan.

 

 

Pasal 16


Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyerahkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan besaran tertentu melakukan:
a. penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya; dan/atau
b. penyerahan antarcabang,
atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak memungut Pajak Pertambahan Nilai terutang dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).

 

Pasal 17

 
(1) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan menggunakan formula T/(100%+T) dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggunakan formula sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai =

b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah =

(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dasar pengenaan pajak untuk menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang ditetapkan sesuai hasil pemeriksaan.
(4) Besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan tarif dikalikan dasar pengenaan pajak sesuai hasil pemeriksaan.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya, dasar pengenaan pajak dan besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang ditetapkan dan dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
 

Pasal 18

 
(1) Kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit harus memuat:
  1. nilai kontrak atau perjanjian;
  2. dasar pengenaan pajak; dan
  3. besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(2) Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam kontrak atau perjanjian tertulis harus disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3) Dalam hal kontrak atau perjanjian tertulis tidak menyebutkan nilai kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, nilai kontrak atau perjanjian tersebut dianggap sebagai dasar pengenaan pajak.
 

Pasal 19

 
(1) Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah:
  1. dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa; dan
  2. dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa.
(2) Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi karena di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.
 

Pasal 20

 
(1) Dalam hal:
a. terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah disetorkan dan dilaporkan,
atas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang salah dipungut hanya dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(2) Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. importir;
b. Pembeli;
c. Penerima Jasa;
d. pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; dan/atau
e. pihak yang memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
 

Pasal 21


Dalam hal transaksi atas:
a. impor Barang Kena Pajak;
b. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean; dan/atau
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
dilakukan dengan menggunakan mata uang selain Rupiah, penghitungan besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak seharusnya dibuat.

 

BAB VI
TEMPAT PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

Pasal 22

 
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
 

BAB VII
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Pasal 23
 

 

(1) Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal:
a. pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
b. pembayaran dilakukan sebelum dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu pada saat pembayaran.
(3) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
a. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak selain penyerahan oleh pemilik barang atau yang disebut consignor kepada penerima barang atau yang disebut consignee secara konsinyasi, terjadi pada saat:
1. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli;
2. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
3. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
b. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak Pembeli;
c. penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat:
1. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak diketahui;
d. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, yaitu pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
1. ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris;
2. berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran dasar;
3. tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
4. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata» nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada;
dan
e. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat:
1. disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai dengan hasil rapat umum pemegang saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha;
2. ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh notaris;
3. disepakati atau ditetapkannya pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang tertuang dalam perjanjian pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal; atau
4. ditandatanganinya akta mengenai pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 oleh notaris.
(4) Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(5) Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
a. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
b. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diketahui; atau
c. mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak.
(6) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, terjadi pada saat yang lebih dahulu terjadi di antara saat:
a. harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
c. harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
(7) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.
(8) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak berwujud dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(9) Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
(10) Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

 

 

Pasal 24

 
(1) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, bagi consignor, terjadi pada saat harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignor, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, bagi consignee, terjadi pada saat:
  1. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli;
  2. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
  3. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
  4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignee, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
 

Pasal 25

 
(1) Pengusaha Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyelenggarakan administrasi penjualan dan administrasi keuangan secara terpusat pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang dipilih tersebut.
 

BAB VIII
FAKTUR PAJAK

Pasal 26

 
(1) Faktur Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), serta Pasal 24.
(2) Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak membuat Faktur Pajak.
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
 

Pasal 27

 
(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. identitas Pembeli atau Penerima Jasa yang meliputi:
1. nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak, bagi wajib pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
2. nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(3) Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan nomor pokok wajib pajak dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan.
(4) Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 merupakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 

Pasal 28

 
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(2) Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), serta Pasal 24.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) , ayat (3), dan ayat (4) berlaku mutatis mutandis untuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat d).
 

Pasal 29

 
(1) Dalam hal terdapat perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebelum berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal:
1. saat terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau saat lain terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai; dan
2. Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai;
atau
b. menggunakan perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal:
1. saat terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau saat lain terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai; atau
2. aktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 

Pasal 30

 
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli dan/atau Penerima Jasa dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli dan/atau Penerima Jasa dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
 

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271); dan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

 

Pasal 32


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271); dan
b. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 33


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
 
JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2022
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRATIKNO


 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 217

 

 

 

 

 

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2022

TENTANG

PENERAPAN TERHADAP PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA

DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

 

I. UMUM
 

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

 

Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan meliputi pengaturan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan cukai.

 

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat pengaturan mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, yang perlu diatur lebih lanjut. Selain itu, pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

 

Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, melakukan penyederhanaan administrasi, memberikan kemudahan dan keadilan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada wajib pajak, dan melakukan simplifikasi regulasi, perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha.

 

Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang.

   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.



Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 3

Ayat (1)

Bentuk pengaturan bersama merupakan pengaturan 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki pengendalian bersama yang terdiri atas kerja sama operasi (joint operation) dan ventura bersama.


Ayat (2)

Contoh bentuk kerja sama operasi yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO A-D dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan (pemilik proyek). Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama KSO A-D.

Berdasarkan hal di atas:

 

  a. KSO A-D wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  b. KSO A-D wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan; dan
  c. apabila dalam rangka kerja sama operasi tersebut, PT ABC atau PT DEF melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan, maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari FT ABC atau PT DEF kepada KSO A-D, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada KSO A-D dan KSO A-D membuat Faktur Pajak kepada pelanggan.

 


Contoh bentuk kerja sama operasi yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT X dan PT Y membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO X-Y dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama PT X.

Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan proyek ini, KSO X-Y tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan.



Pasal 4

Cukup jelas.




Pasal 5

Cukup jelas.




Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.
 

Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Contoh pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak berupa pemberian barang untuk promosi oleh suatu perusahaan kepada relasi bisnis atau pihak lain.
Sedangkan contoh pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak berupa pemberian bantuan penggunaan alat berat oleh perusahaan jasa persewaan alat berat kepada masyarakat.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 7

Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
  b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,

 

maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak.

Contoh 1:
A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh 2:
Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
 


Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “aktivitas operasional” merupakan aktivitas penghasil utama pendapatan Pengusaha (principal revenue producing activities) dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Termasuk dalam kategori aktivitas operasional adalah transaksi dan peristiwa atau kejadian yang efeknya ikut dipertimbangkan dalam penentuan laba rugi operasional (operating income).

Yang dimaksud dengan “aktivitas nonoperasional” merupakan aktivitas selain aktivitas operasional sebagaimana dimaksud di atas.
 

Contoh:
PT DEF merupakan perusahaan jasa konstruksi. Selain melakukan penyerahan jasa konstruksi, PT DEF juga menyewakan sebagian ruang kantornya untuk kafetaria kepada pihak lain. Atas penyerahan jasa konstruksi termasuk dalam pengertian aktivitas operasional, sedangkan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk kafetaria termasuk dalam pengertian aktivitas nonoperasional.

 


Pasal 9

Cukup jelas.
 


Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.
 

Ayat (2)

Contoh 1:

Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada Tuan C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
 

Contoh 2:

PT D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan jaminan fidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan Tuan E sebelum agunan dijual.
Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
 

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas
 

Huruf b

Cukup jelas
 

Huruf c

Cukup jelas
 

Huruf d

Cukup jelas
 

Huruf e

Yang dimaksud dengan “pembebanan sejenis lainnya” merupakan pembebanan yang memiliki fungsi yang sama atau serupa dengan hak tanggungan, jaminan fidusia, hipotek, atau gadai.
 

Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 11

Cukup jelas.



Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.
 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah” antara lain:

  a. penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special purpose entity); dan
  b. penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah.

 


Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah.


Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk:

PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlying dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaran sewa berupa cicilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa fee ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh:

  a. PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan
  b. investor kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

 

 

Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah:

Tuan A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm Oil (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, dan pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rpl 10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) kepada Tuan A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, Tuan A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C.
 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh:

 

  a. anggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B;
  b. Bank Syariah B kepada Tuan A; dan
  c. Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, 

 

tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
 

Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.



Pasal 13

Cukup jelas.



Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Contoh:

PT ABC merupakan produsen Barang Kena Pajak A yang tergolong mewah. Dalam menghasilkan Barang Kena Pajak A, PT ABC juga membeli Barang Kena Pajak B yang tergolong mewah yang akan dipasang pada Barang Kena Pajak A yang dihasilkannya. Atas perolehan Barang Kena Pajak B tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila harga produksi Barang Kena Pajak A sebesar Rp 160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah) dan keuntungan yang diinginkan PT ABC sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) maka Harga Jual Barang Kena Pajak A tersebut sebesar Rp200.450.000,00 (dua ratus juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pada tanggal 1 September 2022, PT ABC melakukan penyerahan Barang Kena Pajak A. Dengan demikian, pajak yang terutang atas penyerahan tersebut:
 

Pajak Pertambahan Nilai (tarif yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai)

= 11% X Rp200.450.000,00 = Rp 22.049.500,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%)
= 20% X Rp200.450.000,00 = Rp40.090.000,00


Ayat (3)

Contoh 1:

PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengan Harga Jual sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20% (dua puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT A yaitu sebagai berikut:
 

  Dasar pengenaan pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai = Rp  11.000.000,00
  Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp  20.000.000.00 +
  Jumlah yang dibayar oleh PT A = Rp 131.000.000,00

 


Contoh 2:

PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30% (tiga puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT C yaitu sebagai berikut:
 

  Dasar pengenaan pajak (nilai impor) = Rp200,000.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai = Rp  22.000.000,00  
  Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp  60.000.000.00 +
  Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp282.000,000,00

 


Ayat (4)

Contoh 1 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) pada tanggal 30 September 2022. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B yaitu sebagai berikut:

 

 

  Harga beli PT A = Rp100.000.000,00
  Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00
  Keuntungan yang diharapkan = Rp  15.000.000.00 +
  Dasar pengenaan pajak  = Rp135.000.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai
11% x Rpl35.000.000,00
= Rp  14.850.000.00 +
  Jumlah yang dibayar oleh PT B = Rp149.850.000,00

 

 

Contoh 2 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tanggal 30 September 2022. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D yaitu sebagai berikut:

 

 

  Nilai impor PT C = Rp200.000.000,00
  Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00
  Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.000.00 +
  Dasar pengenaan pajak = Rp300.000.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai
11% x Rp300.000.000,00
= Rp 33.000.000.00 +
  Jumlah yang dibayar oleh PT D = Rp333.000.000,00

 



Pasal 15

Ayat (1)

Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:

 

  a. Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
  b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
  1. mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan Pajak Masukan;
  2. melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
  3. memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme normal;
dan/atau
  c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu.

 


Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:

 

  a. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
  b. Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

 


Ayat (2)

Cukup jelas.
 

Ayat (3)

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut pada prinsipnya telah diperhitungkan atau dianggap telah dikreditkan dalam penghitungan Pajak Keluaran dengan menggunakan besaran tertentu.

Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa yang seharusnya sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan.


Ayat (4)

Contoh 1:
PT KLM merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu. Dalam hal PT KLM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu kepada Pengusaha yang berada di kawasan tertentu sehingga Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut maka:

 

  a. Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
  b. Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dipungut; dan
  c. Pajak Masukan yang diperoleh PT KLM atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan.

 

 

Contoh 2:

PT CDE merupakan Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dan menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. PT CDE melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Atas penyerahan tersebut:

 

  a. Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
  b. atas penyerahan Barang Kena Pajak dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; dan
  c. Pajak Masukan yang diperoleh PT CD E atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

 

 


Pasal 16

Untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menghindari pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu, diperlukan pengaturan penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).

 

Pada prinsipnya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak juga menganut prinsip penghindaran pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda. Oleh karena itu, penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah) tersebut pada dasarnya juga diterapkan atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu.

 

Contoh:

PT KZL, yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rantau Prapat, merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu berupa penyerahan kendaraan bermotor bekas yang memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan besaran tertentu. Selain melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas, PT KZL juga melakukan kegiatan usaha berupa penyerahan aksesoris kendaraan bermotor.

 

PT KZL mempunyai 1 (satu) cabang yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh, tetapi tidak melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang.

 

PT KZL melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas dan aksesoris kendaraan bermotor kepada cabangnya yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh. Harga pokok penjualan atau harga perolehan kendaraan bermotor bekas yang diserahkan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan harga pokok penjualan atau harga perolehan aksesori kendaraan bermotor yang diserahkan sebesar Rpl.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, atas penyerahan berupa:

  a. kendaraan bermotor bekas, PT KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai menggunakan besaran tertentu dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); dan
  b. aksesori kendaraan bermotor, PT KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain sebesar harga pokok penjualan atau harga perolehan sebesar Rpl.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

 

 


Pasal 17

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “T” merupakan besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau formula tertentu dikalikan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “t” merupakan besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

 

  Harga Jual  = Rp10.000.000,00
  Dasar pengenaan pajak  
  dalam contoh ini adalah  = Rp10.000.000,00

 

 

Ayat (4)

Contoh sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3) maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yaitu sebesar 11% x Rp 10.000.000,00 = Rpl. 100.000,00.

 

Atas penyerahan tersebut juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20% (dua puluh persen) maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang yaitu sebesar 20% x Rp 10.000.000,00 = Rp2.000.000,00.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Contoh:

Pada tanggal 1 September 2022, PT A membuat kontrak penyerahan Barang Kena Pajak. Apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis dinyatakan bahwa nilai kontrak sebesar Rpl31.000.000,00 (seratus tiga puluh satu juta rupiah) sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut:

 

 

Ayat (3)

Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 131.000.000,00 (seratus tiga puluh satu juta rupiah) sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut:

 

 

  Dasar pengenaan pajak = Rp 131.000.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai
(11% x Rp 131.000.000,00)
= Rp 14.410.000,00
  Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(20% x Rpl31.000.000,00) 
= Rp 26.200.000,00

 



Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “piutang” merupakan piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

 

Contoh:
Pada bulan September 2022, PT A telah menjual Barang Kena Pajak dengan nilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada PT B dengan mekanisme penjualan kredit. Transaksi tersebut oleh PT A dicatat sebagai piutang sedangkan oleh PT B dicatat sebagai utang. Untuk kepentingan pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, PT A membuat Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rpl 1.000.000,00 (sebelas juta rupiah) dan menyerahkan Faktur Pajak tersebut kepada PT B. Selanjutnya Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PT A tersebut telah dilaporkan baik oleh PT A dan PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022.

 

Pada bulan Desember 2022, PT A mengeluarkan kebijakan untuk menghapus semua piutang dari PT B. Penghapusan piutang tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan baik oleh PT A maupun PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” atau force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Keadaan kahar atau force majeure tersebut harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.



Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Contoh 1:

PT A melakukan penyerahan barang yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl 10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.

 

Contoh 2:

PT A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut:

 

 

  Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.200.000,00 -
  Selisih  = Rp 300.000,00

 

 

Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.

 

Huruf c

Contoh 1:

PT A melakukan penyerahan jasa yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl 10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.

 

Contoh 2:

PT A melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut:

 

 

  Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00
  Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.200.000,00 -
  Selisih  = Rp 300.000,00

 

 

Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.

 

Huruf d

Cukup jelas.

 

Huruf e

Cukup jelas.



Pasal 21

Contoh 1:

PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$ 10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2022 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp 14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat).

 

Atas transaksi tersebut PT A telah menerbitkan faktur penjualan (invoice) namun belum membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dibuat oleh PT A pada tanggal 20 September 2022. Kurs yang digunakan oleh PT A atas Faktur Pajak yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2022 harus menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp 14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022.

 

Contoh 2:

PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$ 10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2022 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp 14.500.00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat).

 

Pada tanggal 20 September 2022 diketahui bahwa Faktur Pajak yang dibuat atas transaksi tersebut memuat kekeliruan dalam pencantuman jenis Barang Kena Pajak. Atas kesalahan tersebut, PT A melakukan pembetulan Faktur Pajak dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti pada tanggal 20 September 2022 dengan tetap mencantumkan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak yang diganti seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp 14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022.



Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tempat pengkreditan Pajak Masukan” merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

Contoh:

PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya.

 

Ayat (2)

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut.

 

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Huruf a

Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum maka:

 

 

  a. penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli; dan
  b. perpindahan hak penguasaan atas barang dapat juga terjadi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau Pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya.

 

 

Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan (invoice) sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan (invoice) dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan (invoice) ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

 

Yang dimaksud dengan “faktur penjualan” antara lain dokumen lain yang berfungsi atau kedudukannya sama dengan faktur penjualan (invoice).

 

Huruf  b

Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi.

 

Huruf  c

Cukup jelas.

 

Huruf  d

Yang dimaksud dengan "persediaan" merupakan persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.

 

Huruf  e

Yang dimaksud dengan “penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha” merupakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.

 

Yang dimaksud dengan “pemekaran dan pemecahan usaha” merupakan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.

 

Yang dimaksud dengan “perubahan bentuk usaha” merupakan berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak merupakan commanditaire vennootschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan (invoice) dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan (invoice) dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

 

Cukup jelas.

 

Ayat (8)

Cukup jelas.

 

Ayat (9)

Cukup jelas.

 

Ayat (10)

Cukup jelas.



Pasal 24

Ayat (1)

Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:

 

  a. consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
  b. consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pembeli dimaksud.

 

 

Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada consignee, tetapi terjadi pada saat consignor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan (invoice) oleh Pengusaha Kena Pajak consignor, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 25

Cukup jelas.



Pasal 26

Ayat (1)

Penentuan saat pembuatan Faktur Pajak dilakukan untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten.

 

Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak.

 

Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:

 

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak.

Contoh 1:
PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada Tuan Igna pada tanggal 15 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli.

Contoh 2:
PT Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (free on board shipping point). Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang PT Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi dengan tanggal delivery order (DO) 12 September 2022. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (free on board shipping point).

Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (invoice) diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan (invoice). Penerbitan faktur penjualan (invoice) tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.

Contoh 3:
PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang Pembeli (free on board destination). Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2022. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice) pada tanggal 16 September 2022. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2022 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual.
     
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak.

Contoh 1:
Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang.

Contoh 2:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang.

Contoh 3:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2022.
     
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak.

Contoh 1:
PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
  1. PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022.
  2. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rpl20.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
  3. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per tahun.

Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Contoh 2:
PT Toryung mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Toryung selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pembayaran jasa konsultansi akan dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022. Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (invoice) untuk menagih pembayaran jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). PT Toryung melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 10 Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) (sesuai dengan nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 20 Oktober 2022.

Contoh 3:
PT Setiyakom merupakan perusahaan jasa telekomunikasi. PT Setiyakom melakukan penagihan kepada pelanggan sesuai dengan periode pemakaian selama 1 (satu) bulan. Pengumpulan data-data pemakaian dari pelanggan memerlukan waktu beberapa hari, sehingga faktur penjualan (invoice) baru dapat diterbitkan beberapa hari setelahnya.

Misalnya untuk pemakaian oleh pelanggan pada tanggal 1 sampai dengan 30 September 2022, PT Setiyakom menerbitkan faktur penjualan (invoice) untuk melakukan penagihan pada tanggal 5 Oktober 2022. Untuk kasus ini, Faktur Pajak dibuat pada saat penyerahan jasa tersebut dinyatakan atau dicatat sebagai piutang atau penghasilan, yaitu pada akhir periode pemakaian (tanggal 30 September 2022) atau paling lambat pada saat diterbitkannya faktur penjualan (invoice) (tanggal 5 Oktober 2022). Saat pembuatan Faktur Pajak dimaksud diterapkan secara konsisten.

Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut:
 

     
  4. Penyerahan sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin).

Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Umumnya, pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh:
  1. Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20% (dua puluh persen).
  2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 20% (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1.
  3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 50% (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-2.
  4. Tanggal 21 November 2022, pekerjaan selesai 80% (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3.
  5. Tanggal 25 Januari 2023, pekerjaan selesai 100% (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
  6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan.
  7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.

Pada angka 1 sampai dengan angka 4, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angka 7, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut.

 

 

Ayat (2)

Pada dasarnya, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, apabila Pengusaha Kena Pajak terlambat membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tanpa ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.

 

Contoh 1:

PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Tuan B yang Faktur Pajaknya seharusnya dibuat pada tanggal 1 September 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 1 Desember 2022. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 30 November 2022.

 

Contoh 2:

CV C yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menerima pembayaran uang muka dari PT D pada tanggal 20 September 2022 untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 20 Desember 2022. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 19 Desember 2022.

 

Contoh 3:

PT E yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F selama bulan September 2022. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT E memilih membuat Faktur Pajak gabungan sehingga Faktur Pajak gabungan dimaksud seharusnya dibuat paling lama pada tanggal 30 September 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak gabungan yaitu 30 Desember 2022. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 29 Desember 2022.

 

Ayat (3)

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak dibuat. Namun, Faktur Pajak yang dianggap tidak dibuat tersebut tetap wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tersebut dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Faktur Pajak yang mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 28

Cukup jelas.



Pasal 29

Ayat (1)

Huruf a

Contoh:

PT X yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada Tuan V pada tanggal 31 Desember 2024. Faktur Pajak dibuat oleh PT X pada tanggal 31 Desember 2024. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari 11% (sebelas persen) menjadi 12% (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap menggunakan tarif 11% (sebelas persen) karena saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai.

 

Huruf b

Contoh:

PT Z yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada Tuan Y  pada tanggal 31 Desember 2024. Namun, Faktur Pajak dibuat oleh PT X pada tanggal 1 Januari 2025. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari 11% (sebelas persen) menjadi 12% (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak menggunakan tarif 12% (dua belas persen) karena Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, meskipun saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 30

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “konsumen akhir” merupakan pembeli barang dan/atau penerima jasa yang mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima dan tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa dimaksud untuk kegiatan usaha.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 31

Cukup jelas.



Pasal 32

Cukup jelas.



Pasal 33

Cukup jelas.

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6830

PERATURAN TERBARU

lihat semua peraturan